“I am a Second Wife”Sabtu, 13 Mei 2006 - 20:13:58 WIB
Sewaktu high school wanita Amerika itu hancur tatkala dirinya hamil diusia 17 tahun. Ia terpaksa menjadi ’single mother’ diusia muda. Namun hidupnya merasa nyaman setelah menjadi istri kedua seorang lelaki Muslim.
Sekitar tiga bulan lalu, the Islamic Forum yang diadakan setiap Sabtu di Islamic Center New York didatangi peserta baru. Pertama kali memasuki ruangan itu saya sangka dia wanita Bosnia. Dengan pakaian Muslimah yang sangat rapi, blue eyes, dan kulit putih bersih. Pembawaannya pun sangat pemalu, dan seolah seseorang yang telah lama memahami etika Islam.
Huda, demikianlah wanita belia itu memanggil dirinya. Menurutnya,dia baru saja pindah ke New York dari Michigan ikut suami yang berkebangsaan Yaman. Suaminya bekerja pada sbuah perusahaan mainan anak-anak (toys).
Tak ada menyangka bahwa wanita itu baru masuk Islam sekitar 7 bulan silam. Huda, yang bernama Amerika Bridget Clarkson itu, adalah bekas juruwang di sebuah kedai di Michigan.Di kedai inilah dia mengenal ISLAMdan Muslim.
Biasanya ketika saya menerima murid baru untuk bergabung pada kelas untuk new reverts, saya tanyakan proses masuk Islamnya, menguji tingkatan pemahaman agamanya, dll. Ketika saya tanyakan ke Huda bagaimana proses masuk Islamnya, dia menjawab dengan istilah-istilah yang hampir tidak menunjukkan bahwa dia baru masuk Islam. Kata-kata “alhamdulillah”.”Masya Allah” dsbgnya meluncur lancar dari bibirnya.
Dengan berlinang air mata, tanda kebahagiaannya, Huda menceritakan proses dia mengenal Islam.
“I was really trapped by jaahiliyah (kejahilan)”, mengenang masa lalunya sebagai gadis Amerika. “I did not even finish my High School and got pregnant when I wan only 17 years old”, katanya dengan suara lirih. Menurutnya lagi, demi mengidupi anaknya sebagai ‘a single mother’ dia harus bekerja. Pekerjaan yang bisa menerima dia hanyalah grocery kecil di pinggiran kota Michigan.
Suatu ketika, kedai tempatnya bekerja didatangi seorang pelanggan yang istimewa. Menurutnya, pemuda itu sopan dan menunjukkan hormat kepadanya sebagai juruwang. Padahal, biasanya, menurut pengalaman, sebagai wanita muda yang manis, setiap kali melayani pemuda, pasti digoda atau menerima kata-kata yang tidak manis.
Hingga suatu ketika, dia sendiri berinisiatif bertanya kepada costumernya ini, siapa namanya dan tinggal di mana.Mendengar namanya yang asing, Abdu Tawwab, Huda semakin bingung. Sebab nama ini sendiri belum pernah didengar. Sejak itu pula setiap kali pemuda ini datang ke kedai tempat dia bekerja, pasti disempatkan bertanya lebih jauh kepadanya, seperti kerja di mana, apa tinggal dengan keluarga, dll.
Perkenalannya dengan pemuda itu ternyata semakin dekat, dan pemuda itu juga semakin baik kepadanya dengan membawakan apa yang dia sebut ‘reading materials as a gift”. Huda mengaku, pemuda itu memberi berbagai buku-buku kecil (booklets).
Dan hanya dalam masa sekitar tiga bulan ia mempelajari Islam, termasuk berdiskusi dengan pemuda tersebut. Huda merasa bahwa inilah agama yang akan menyelamatkannya.
“Pemuda tersebut bersama isterinya, yang ternyata telah mempunyai 4 orang anak, mengantar saya ke Islamic Center terdekat di Michigan. Imam Islamic Center itu menuntun saya menjadi seorang Muslimah, alhamdulillah!”, kenang Huda dengan muka yang ceria.
Tapi untuk minggu-minggu selanjutnya, kata Huda, ia tidak komunikasi dengan pemuda tersebut. Huda mengaku justeru lebih dekat dengan isteri dan anak-anaknya. Kebetulan lagi, anaknya juga berusia tiga tahun, maka sering pulalah mereka bermain bersama. “Saya sendiri belajar solat, dan ilmu-ilmu dasar mengenai Islam dari Sister Shaima, nama isteri pemuda yang mengenalkannya pada Islam itu.
Suatu hari, dalam acara The Islamic Forum, minggu lalu, datang seorang tamu dari Bulgaria. Wanita dengan bahasa Inggris seadanya itu mempersoalkan dengan keras tentang konsep poligami dalam Islam. Bahkan sebelum mendapatkan jawaban, perempuan ini sudah menjatuhkan hukum bahwa “Islam tidak menghargai sama sekali kaum wanita”, katanya bersemangat.
Huda, yang biasanya duduk diam dan lebih banyak menunduk, tiba-tiba angkat tangan dan meminta untuk berbicara. Saya cukup terkejut. Selama ini, Huda tidak akan pernah menyelah pembicaraan apalagi terlibat dalam sebuah dialog yang serius. Saya hanya biasa berfikir kalau Huda ini sangat terpengaruh oleh etike Timur Tengah, di mana kaum wanita selalu menunduk ketika berpapasan dengan lawan jenis, termasuk dengan gurunya sendiri.
“I am sorry Imam Shamsi”, dia memulai. “I am bothered enough with this woman’s accusation”, katanya dengan suara agak meninggi. Saya segera menyelah: “What bothers you, sister?”. Dia kemudian menjelaskan panjang lebar kisah hidupnya, sejak masa kanak-kanak, remaja, hingga kemudian hamil di luar nikah, bahkan hingga kini tidak tahu siapa ayah dari anak lelakinya yang kini berumur hampir 4 tahun itu.
Tapi yang sangat mengejutkan saya dan banyak peserta perbincangan hari itu adalah ketika mengatakan: “I am a second wife.” Bahkan dengan semangat dia menjelaskan, betapa dia jauh lebih bahagia dengan suaminya sekarang ini, walau suaminya itu masih berstatus suami wanita lain dengan 4 anak. “I am happier since then“, katanya mantap.
Dia seolah berda’wah kepada wanita Bulgaria tadi: “Don’t you see what happens to the western women around? You are strongly opposing polygamy, which is halaal, while keeping silence to free sex that has destroyed our people” ,jelasnya. Saya kemudian menyelah dan menjelaskan kata “halal” kepada wanita Bulgaria itu.
“I know, people may say, I have a half of my husband. But that’s not true“, katanya. Lebih jauh dia menjelaskan bahwa poligami bukan hanya masalah suami dan isteri. Poligami dan kehidupan keluarga menurutnya, adalah masalah kemasyarakatan. Dan jika seorang isteri rela suaminya beristeri lagi demi kemaslahatan masyarakat, maka itu adalah bagian dari pengorbananya bagi kepentingan masyarakat dan agama.
Kami yang dari tadi mendengarkan penjelasan Huda itu hanya ternganga. Hampir tidak yakin bahwa Huda adalah isteri kedua, dan juga hampir tidak yakin kalau Huda yang pendiam selama ini ternyata memiliki pemahaman agama yang dalam. Saya kemudian bertanya kepada Huda: “So who is your husband?” Dengan tertawa kecil dia menjawab “the person who introduced me to Islam”.Dan lebih mengejutkan lagi: “his wife basically suggested us to marry”, menutup pembicaraan hari itu.
Diskusi Islamic Forum hari itu kita akhir dengan penuh bisik-bisik. Ada yang setuju, tapi ada pula yang cukup sinis. Yang pasti, satu lagi rahasia terbuka. Saya sendiri hingga hari ini belum pernah ketemu dengan suami Huda karena menurutnya, “he is a shy person. He came to the Center but did not want to talk to you”, kata Huda ketika saya menyatakan keinginan untuk ketemu suaminya.
“Huda, may Allah bless you and your family. Be strong, many challenges lay ahead in front of you”, masehatku. Doa kami menyertaimu Huda, semoga dikuatkan dan dimudahkan!
New York, 10 Mei 2006
* Penulis adalah imam Masjid Islamic Cultural Center of New York. Syamsi adalah penulis rubrik “Kabar Dari New York” di www.hidayatullah.com
No comments:
Post a Comment